Sejarah Pakaian Rajut

Ada juga sumber lain yang menyatakan jika
teknik merajut banyak dikembangkan oleh bangsa Arab, untuk membuat permadani.
Ketrampilan merajut tersebut kemudian tersebar ke seluruh dunia, mulai dari
wilayah Tibet, Spanyol, hingga kawasan pelabuhan Mediterania. Bahkan dalam
kebudayaan yang berkembang di pesisir Inggris, merajut menjadi sebuah keterampilan
wajib yang diwariskan dari ibu ke anaknya secara turun temurun.
Di wilayah Norwegia terdapat tradisi
membuat sweater, jaket, atau cardigan dengan kombinasi warna yang unik dan
rumit yang lebih dikenal dengan rajutan fair isle. Sedangkan di Indonesia
sendiri keterampilan merajut banyak ditularkan oleh para noni Belanda kepada
wanita pribumi Indonesia pada masa penjajahan Belanda, sehingga nama stik
merajut tersebut lebih populer dengan breien.
Sejak saat itulah para desainer mulai
melirik jenis bahan rajutan untuk membuat busana olahraga pada musim dingin.
Pada periode 1920-1930 bahan rajutan banyak dimanfaatkan untuk sweater, jaket,
vest, cardigan, hingga baju seragam untuk para tentara Jerman saat Perang Dunia
II.
Barulah pada tahun 1950, pakaian dari bahan
rajut mulai mengalami banyak perubahan dari segi motif, desain, dan tekstur.
Corak yang ditampilkan dari sebuah tenunan rajut juga dapat dibuat dalam bentuk
rumit dan unik dari persilangan benang berwarna warni.
Karakteristik pakaian rajut yang lentur dan
elastis, bisa dengan mudah menyesuaikan bentuk dan lekuk badan. Tidak
mengherankan jika pada perkembangannya, seni merajut banyak diaplikasikan pada
berbagai produk pakaian dalam, stocking, singlet, tanktop atau boxer dan juga
pakaian sexy lainnya.
Meski diciptakan secara khusus untuk
menghangatkan badan, pakaian dari bahan rajut juga kerap dikenakan oleh
masyarakat Indonesia saat menghadiri acara casual atau sekedar hangout.
Terlebih model baju dan bahan rajut yang digunakan cenderung lebih tipis dan
jauh lebih bervariasi, mulai dari dress rajut, blouse rajut, hingga item
fashion berbahan dasar rajut lainnya.
Komentar
Posting Komentar